Sesungguhnya kemulia’an manusia bukan soal manusianya, tapi
karena ibadahnya. Seseorang tidak akan mendapatkan ridha Allah Ta’ala,
tidak akan masuk surga, dan tidak akan selamat di dunia dan di akhirat
kecuali dengan beribadah kepada-Nya.
Kita fahami bersama bahwa ibadah itu adalah sesuatu yang di
syari’atkan Allah Ta’ala. Bila suatu amalan disyari’atkan oleh Allah
Ta’ala, maka menunjukkan amalan tersebut dicintai dan diridhoi oleh-Nya.
Sebaliknya bila tidak disyari’atkan maka berarti amalan tersebut pun
tidak dicintai dan tidak pula diridhoi-Nya.
Karena ibadah itu disyari’atkan oleh Allah Ta’ala, maka
kita harus mengetahui ketetapan-ketetapannya. Oleh sebab itulah para
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa ibadah itu bersifat
tauqifiyah.
Syaikh DR. Sholih bin Fauzan al-Fauzan mengatakan : “Ibadah
itu tauqifiyah, maknanya ia tidak disyari’atkan sedikit pun kecuali
dengan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah. Dan apa pun yang tidak
disyari’atkan dianggap bid’ah(amalan yang tidak sesuai tuntunan) yang
tertolak,
Sebagaimana sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak.”
Maknanya, amalan tersebut ditolak dan tidak diterima bahkan ia berdosa karenanya, sebab amalan (yang tidak diperintahkan) tersebut termasuk kemaksiatan, bukan keta’atan“. (Lihat Aqidatut Tauhid oleh Syaikh DR. Sholih bin Fauzan al-Fauzan hlm. 54).
Sebagaimana sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak.”
Maknanya, amalan tersebut ditolak dan tidak diterima bahkan ia berdosa karenanya, sebab amalan (yang tidak diperintahkan) tersebut termasuk kemaksiatan, bukan keta’atan“. (Lihat Aqidatut Tauhid oleh Syaikh DR. Sholih bin Fauzan al-Fauzan hlm. 54).
Dari sini kita pahami bahwa untuk menetapkan suatu amalan
tersebut sebagai ibadah atau bukan, maka harus berdasarkan dalil bukan
berdasarkan perasa’an, akal atau dengan kira-kira maupun prasangka baik
semata.
• DUA SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Oleh karena itulah para Ulama Ahlu Sunnah menetapkan, bahwa
sebuah ibadah akan diterima Allah Ta’ala apabila terpenuhi dua syarat.
Dua syarat ibadah ini bukanlah suatu yang dibuat-buat oleh
para Ulama melainkan berdasarkan Firman Allah Ta’ala dan Hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.
• Dalil dari Firman Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman :
Allah Ta’ala berfirman :
ﻗُﻞْ ﺇِﻧَّﻤَﺂ ﺃَﻧَﺎ۠ ﺑَﺸَﺮٌ ﻣِّﺜْﻠُﻜُﻢْ ﻳُﻮﺣَﻰٰٓ ﺇِﻟَﻰَّ
ﺃَﻧَّﻤَﺂ ﺇِﻟٰﻬُﻜُﻢْ ﺇِﻟٰﻪٌ ﻭٰﺣِﺪٌ ۖ ﻓَﻤَﻦ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺮْﺟُﻮﺍ۟ ﻟِﻘَﺂﺀَ
ﺭَﺑِّﻪِۦ ﻓَﻠْﻴَﻌْﻤَﻞْ ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺻٰﻠِﺤًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ
ﺭَﺑِّﻪِۦٓ ﺃَﺣَﺪًۢﺍ
"Katakanlah, Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Sesembahan kamu itu
adalah Sesembahan yang satu”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya“. (QS. Al
Kahfi: 110)
Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan ;
“Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya
adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah
semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.”Kemudian beliau mengatakan,
“Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah
dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
(Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah
hal. 57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir).
Dalil lainnya, Allah Ta’ala berfirman :
ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓَ ﻟِﻴَﺒْﻠُﻮَﻛُﻢْ ﺃَﻳُّﻜُﻢْ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﻋَﻤَﻠًﺎ
"(Allah-lah) yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya
Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya”.
[QS Al Mulk: 2]
Fudhail bin ‘Iyaad rohimahullah seorang Tabi’in yang agung
mengatakan ketika menafsirkan firman Allah, (yang artinya) “yang lebih
baik amal ibadahnya” maksudnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling
benar (paling mencocoki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Kemudian Beliau rohimahullah mengatakan ; “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Kemudian Beliau rohimahullah mengatakan ; “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
(Lihat Ma’alimut Tanziil (Tafsir Al Baghowi) oleh Abu
Muhammad Husain bin Mas’ud Al Baghowiy rohimahullah tahqiq Syaikh
Muhammad Abdullah An Namr, terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh).
• Dalil dari hadits Nabi
– Syarat pertama, Ibadah niatnya harus semata-mata karena Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ، ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟِﻜُﻞِّ
ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﻣَﺎ ﻧَﻮَﻯ، ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ
ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ
ﻟِﺪُﻧْﻴَﺎ ﻳُﺼِﻴْﺒُﻬَﺎ ﺃَﻭِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻳَﻨْﻜِﺤُﻬَﺎ ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎ
ﻫَﺎﺟَﺮَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu tergantung dengan
niatnya, dan sesungguhnya setiap orang tergantung dengan apa yang ia
niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang
hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang
ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah
kepadanya”. (HR. Al-Bukhari, 1/3 no. 1, Muslim 3/1515 no. 1907)
– Syarat yang kedua, Ibadah harus ada perintahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami
ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. (HR.
Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan ;
“Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali”. (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77).
“Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali”. (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77).
Setelah kita mengetahui dua syarat diterimanya sebuah
ibadah, maka tidak ada alasan untuk membuat suatu amalan yang dasarnya
hanya baik semata.
Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
ﻭﻻ ﻳﺴﺘَﺤْﺴِﻦُ؛ ﻓﺈﻥَّ ( ﻣَﻦ ﺍﺳﺘﺤﺴﻦ ﻓﻘﺪ ﺷَﺮَﻉَ )
“Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya.
Sebab, Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan),
maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at (baru)”. [Al-Ba’its ‘alaa
Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢُ ﺑﺎﻟـﺼـﻮﺍﺏ
https://agussantosa39.
0 komentar:
Posting Komentar