.
Seringkali ada orang yang ketika diperingatkan untuk tidak berbuat bid’ah(amalan yang tidak sesuai tuntunan) orang tersebut mengeluarkan ucapan ;
“Mana dalil yang melarangnya ?”
Perlu diketahui bahwa urusan IBADAH, yang di tanyakan bukan dalil yang melarangnya, tapi dalil yang memerintahkannya.
Urusan DUNIA dan urusan IBADAH, adalah perkara yang berbeda, begitu pula qa’idahnya.
Berikut ini, qa’idahnya masing-masing,
1- Urusan DUNIAWI qa’idahnya :
الاصل في العاده حلال حتي يقوم الدليل علي النهي
“Asalnya urusan DUNIAWI halal (boleh) kecuali ada dalil yang melarangnya”.
2- Urusan IBADAH qa’idahnya :
الاصل في العباده بطلان حتي يقوم الدليل علي الامر
“Asalnya urusan Ibadah batal / tidak sah kecuali ada dalil yang memerintahkannya”
Kaidah-kaidah di atas perlu di pahami, sehingga tidak rancu memahami urusan DUNIA dan urusan IBADAH.
Setelah kita memahami urusan DUNIAWI dan urusan IBADAH, dan
qa’idahnya masing-masing. Maka sangat keliru kalau ada orang yang
menanyakan dalil yang melarang dalam perkara ibadah.
• HUKUM ASALNYA IBADAH
Hukum asalnya ibadah adalah terlarang, haram dilakukan kecuali ada dalil yang memerintahkannya.
Sebagaimana disebutkan dalam ilmu ushul fiqih ;
الاصل في العباده بطلان حتي يقوم الدليل علي الامر
“Asalnya urusan Ibadah batal / tidak sah kecuali ada dalil yang memerintahkannya”
Ulama Syafi’i berkata :
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”.
Perkata’an di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43).
Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi
rujukan. Perkata’an Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada
dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya, asalnya
ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan.
Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata :
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)”. (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata :
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”.
Kaedah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan,
الأصل في العبادات التوقيف
“Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil)”.
Dalam Al Adabu Asy Syar’iyah, Ibnu Muflih berkata :
أَنَّ الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ
شَيْءٌ سَبَبًا إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ
مَبْنَاهَا عَلَى التَّوْقِيفِ
“Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh
dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar
ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil”.
Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits, Imam Syafi’i termasuk di dalamnya berkata :
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
“Hukum asal ibadah adalah tauqif (menunggu sampai adanya dalil)”. (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17).
Dari penjelasan para Ulama diatas, kita mendapatkan
penjelasan bahwa Ibadah apapun bentuknya adalah terlarang / tidak sah
kecuali ada dalil yang memerintahkannya.
Jadi sangat keliru, kalau ada orang yang berkata dalam perkara ibadah. Mana dalil yang melarangnya ?
Agus Santosa Somantri
================
0 komentar:
Posting Komentar